Selasa, 03 September 2013

Freedom with boundaries

Masih ingat kasus Prita? bermula karena ketidakpuasan terhadap RS Omni International, Prita menuliskan ketidakpuasannya melalui email dan mengirimkannya ke sebuah milis dan akhirnya surel tersebut menyebar kemana-mana. Karena tindakannya itu, Prita dituntut oleh RS Omni International atas tuduhan "Pencemaran Nama Baik". Setelah menjalani persidangan selama hampir kurang lebih 4 tahun, akhirnya Prita dinyatakan tidak bersalah pada Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA).
Membaca kronologis ceritanya, terbersit rasa ngeri. Maksud hati hanya ingin mengungkapkan ekspresi, ternyata malah harus berlanjut ke persidangan. Untungnya Prita akhirnya dibebaskan. Bagaimana jika ternyata keputusan PK MA adalah sebaliknya?huff...kemana lagi harus mengadu, saat sebuah ungkapan ekspresi saja dilarang. Membaca UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), saya melihat Prita dikenai tuduhan berdasarkan Pasal 27 (3) yang berbunyi seperti ini :
"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik"
Serem juga ya, karena menurut saya pasal ini luas sekali, apa yang dimaksud dengan penghinaan dan pencemaran nama baik tidak dijelaskan disini (mungkin dijelaskan di pertauran lain tapi saya tidak tahu). Jika tidak ada penjelasannya, hal ini bisa menjadi sangat subjektif. Tergantung pandangan siapa, mungkin suatu hal bisa merupakan penghinaan bagi seseorang namun orang lain ada yang tidak menganggapnya suatu penghinaan...bingung ya..Padahal di negara kita memang sudah ada kebebasan berekspresi, ternyata masih ada sandungan.

Bagaimana dengan dinegara lain? negara anggota ASEAN yang lain? Salah satu negara ASEAN yang juga memiliki undang-undang mengenai "dunia maya" ini yaitu Filipina. Negara itu memiliki "cybercrime prevention act" yang disahkan pada 12 September 2012 lalu. Undang-undang ini dimaksudkan untuk menangani aksi pornografi di dunia maya, terutama melindungi kegiatan eksploitasi seksual kepada anak dibawah umur.  Selain itu juga meredam pencurian identitas dan kegiatan spamming, dikatakan oleh pejabat terkait. Namun undang-undang ini juga bisa digunakan untuk menindak pencemaran nama baik atau kata-kata yang dianggap menyerang seseorang di dunia maya, dan mampu diganjar hingga 12 tahun penjara atau denda. Kalimat terakhir itu yang serem juga ya..

Menurut wikipedia disebutkan bahwa Filipina merupakan negara di Asia Tenggara yang memiliki tingkat kebebasan pers tertinggi. Namun beberapa pengamat menyebutkan, adanya "preventif cybercrime" ini melanggar kebebasan berekspresi di Filipina. Bahkan yang terjadi di Filipina justru lebih menyeramkan lagi, banyak wartawan yang terbunuh di Filipina - sejak tahun 1986, lebih dari seratus wartawan Filipina dibunuh- yang menyebabkan negara ini ditempatkan oleh pengawas pers internasional sebagai salah satu tempat berbahaya di dunia bagi wartawan. Jika sudah seperti ini apakah Filipina masih bisa disebut sebagai negara yang memiliki tingkat kebebasan pers tertinggi di Asia Tenggara?

Kebebasan memang bukan berarti bebas sebebas-bebasnya. Menurut saya, memang tetap harus ada batasan terhadap kebebasan ini. Karena jika tidak ada batasan, maka kebebasan seseorang bisa saja mengganggu kebebasan orang lain. Termasuk dalam hal ini kebebasan berekspresi dan berbagi informasi, harus ada batasan yang mengatur. Namun batasannya juga harus jelas dan tidak menimbulkan mutitafsir. Jadi bukan "Freedom without boundaries" namun "Freedoom with boundaries"


Sumber :
1. http://www.tempo.co
2. http://id.wikipedia.org
3. http://www.bbc.co.uk
4. http://www.antaranews.com
5. http://infolengkapterbaru.blogspot.com

10daysforASEAN #Day 8#

0 comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

© haafidhanita-forever in love, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena